
Jakarta –
Wakil Ketua Komisi III dewan perwakilan rakyat Rano Alfath merespon pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menampilkan pengampunan terhadap pelaku korupsi yang bersedia bertobat dan mengembalikan aset negara. Ia menganggap langkah tersebut menitikberatkan pada pengembalian kekayaan negara.
“Langkah ini bahu-membahu sejalan dengan kemajuan paradigma penegakan aturan pidana terutama di bidang korupsi, yang mengganti persepsi dari ‘follow the suspect‘ ke ‘follow the money‘, orientasi aturan pidana terbaru beranjak pada upaya mengedepankan penyelesaian nyata yang tidak hanya berkonsentrasi pada pemenjaraan pelaku, tetapi juga pada pengembalian kekayaan negara demi kemanfaatan masyarakat,” kata Rano dalam keterangannya, Selasa (24/12/2024).
Baca juga: Prabowo Mau Ampuni Koruptor, Menkum: Bukan Berarti Biarkan Pelaku Bebas |
Rano menyampaikan hingga dikala ini belum ada ketentuan spesifik terkait seruan maaf bagi pelaku korupsi. Ia menyebut bila mengacu pada Pasal 4 UU Tipikor ditegaskan bahwa pengembalian keuangan negara tidak serta-merta meniadakan pidana bagi pelaku korupsi, sanggup saja ada peringanan beban pidananya.
“Dalam ketentuan tersebut, pengembalian kerugian negara dipersamai dengan argumentasi mengendorkan pidana, menyerupai dogma baik untuk memperbaiki kesalahan, tidak mempersulit negara, dan dianggap selaku legalisasi bersalah,” katanya.
Ia menyampaikan wacana memaafkan koruptor dengan mengembalikan kerugian negara sejalan dengan pembaruan pemberantasan korupsi skala nasional hingga internasional. Ia menyebut hal ini selaku dasar implementasi restorative justice (RJ) dengan lingkup lebih luas.
“Dengan mendorong pengembalian aset negara, kebijakan ini menempatkan kepentingan negara dan rakyat selaku prioritas utama. Pemulihan kerugian negara dalam waktu yang lebih singkat akan menampilkan faedah pribadi bagi masyarakat, daripada sekadar menempatkan pelaku di penjara tanpa pemulihan aset,” tutur Waketum PKB ini.
“Pendekatan ini juga sejalan dengan nilai keadilan korektif, di mana pelaku diberi potensi untuk bertanggung jawab dan berkontribusi pada pemulihan kerugian negara. Namun, hal ini tidak memiliki arti melemahkan perilaku terhadap tindakan melawan hukum korupsi, tetapi lebih terhadap mencari keseimbangan antara penegakan aturan dan kemanfaatan bagi negara,” sambungnya.
Menurutnya rencana itu mesti diikuti dengan perbaikan manajemen birokrasi, menyederhanakan ruang gerak korupsi, dan memperkuat transparansi pengelolaan budget negara. Jika dipraktekkan dengan tepat, ujar Rano, langkah ini sanggup menjadi terobosan yang menampilkan dampak positif secara luas bagi masyarakat.
“Tidak perlu khawatir, datangnya Putusan No. 25/PUU-XVI/2016 yang sudah memastikan kerugian keuangan negara sebagaimana terkandung dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor haruslah bersifat riil (actual lost), bukan mempunyai peluang merugikan (potential lost), menjadi teladan bahwa mesti ada ukuran yang terang untuk menyeleksi sebuah kerugian selaku kerugian keuangan atau perekonomian negara,” ujar Rano.
Baca juga: Pukat UGM: Pengampunan Terhadap Koruptor Bahaya dan Bertentangan dengan UU |
“Dengan kerugian yang nyata, maka penentuan akan pengembalian kerugian keuangan keuangan negara juga menjadi lebih terukur. Pendekatan ini menampilkan bahwa upaya pemberantasan korupsi sanggup dijalankan secara progresif dan restoratif, dengan tetap mempertahankan prinsip keadilan dan faedah bagi bangsa,” imbuhnya.
Simak juga Video ‘Ketua KPK soal Peluang Prabowo Maafkan Koruptor: Saya Percaya Presiden Tegas’:
komisi iii dprkoruptorkorupsiprabowo subiantoHoegeng Awards 2025Baca dongeng inspiratif calon polisi teladan di siniSelengkapnya